Kamis, 19 Desember 2013

Jika Menikahi Seorang Bidan

diana fitri lathifah

tulisan ini saya buat sebagai pengetahuan saja, bila ada kesalahan atau ketidak sesuaian silahkan dikoreksi dengan baik :D
SUATU HARI DI PERTEMUAN LINGKARAN CINTA KAMI
pendidik saya bilang: mba kalo memproses adek-adek relatif gampang soalnya,,,
saya: soalnya kalo dokter banyak yang mau ya mba,,,,, :P
pendidik saya: iya dek, kalo dari medis kayak adek-adek dokter, perawat, bidan….
SUATU HARI DI KAJIAN USTADZ SALIM
ustadz salim: saya heran di proposal ikhwan-ikhwan kok banyak yang mensyaratkan calonnya harus dokter, ini ikhwannya apakah pada penyakitan semua sehingga istrinya harus dokter?
saya: hahahhaha akhwatnya juga ga mau kali kalo punya pasangan penyakitan (dalem hati aja)
SUATU HARI DI BAKSOS RZ DI PASURUAN
saya: mba, njenengan ga mau ambil spesialis obgyn (kandungan)?
mba indri:kalo aku jadi dokter obgyn dek, keluargaku ta nomer sekiankan
saya: hhhaaaaa? (muka tidak percaya) kok bisa mba?
mba indri: soalnya nanti bakal sibuk operasi dek..
DI LAIN KESEMPATAN
suami mba A : dek, gaji cuma segitu tapi harus kerja di pusksmas dari pagi sampe sore, mending sini ta gaji jadi bojoku aja…
mba A: spicles
sebenernya ga salah si saat seorang laki-laki berkeinginan mempunyai seorang istri tenaga medis, tapi seharusnya mereka mengetahui konsekuensinya dari awal. baik kelebihan maupun resiko yang harus ditanggung.
seorang tenaga medis memang lebih mengerti tentang ilmu kesehatan, tentang gizi, tentang obat, tentang merawat anak,tentang penanganan jika ada keluarga sakit, dan (seakan) lebih tinggi status sosial di masyarakat.
namun satu hal yang sering terlupakan sebelumnya. tentang kewajibannya menolong sesama.
jangan halangi dia untuk menunaikan fardhu kifayahnya.
fardhu kifayah yang memang hanya profesinya saja yang bisa menunaikannya.
seperti bidan atau dokter kandungan dan juga perawat. para suami pasti tidak ingin kalau istrinya dirawat oleh perawat laki-laki, diperiksa oleh dokter laki-laki atau yang lebih ekstrim adalah dibantu melahirkan oleh dokter kandungan laki laki?
maka izinkanlah kami sebagai tenaga medis untuk melaksanakan fardhu kifayah kami dan menolong orang lain…
kalo saya sendiri, sebagai seorang yang cabi (calon bidan) dan juga seorang yang caem (calon emak), saya sih bakal seneng-seneng aja kalo harus ongkang-ongkang kaki di rumah tanpa harus kerja, lagian ilmu saya juga masih akan bermanfaat dan masih tetep bisa diaplikasikan meskipun cuma sedikit kalo saya gak kerja.
tapi saya ingin ada jaminan kalo suami saya nanti ga mati duluan dan saya di akhirat nanti ga dituntut karna tidak menolong orang yang membutuhkan padahal saya mampu. :D
Jika Istrimu Seorang Bidan
Jika kamu berpikir bahwa memiliki seorang bidan berarti ia memiliki banyak waktu di rumah untuk menemanimu dan keluarga, percayalah, bahwa asumsimu tak sepenuhnya benar. Aku ceritakan sedikit. Bidan. Perempuan yang separuh hidupnya berhubungan dengan perempuan, keluarga, dan anak-anak. Lahan kerja kami “sedikit”. Menolong persalinan, memeriksa ibu hamil, mendeteksi penyakit reproduksi, memberi konseling remaja dan keluarga berencana. Dari pekerjaanku inilah, aku bersyukur karena aku bisa lebih dekat dengan perempuan-perempuan di sekitarku, entah sebagai seorang ibu, seorang remaja, anak-anak, bahkan wanita tuna susila. Aku belajar banyak dari mereka.
Perempuan. Kami makhluk yang spesial, bisa multitasking. Dalam profesi bidan, aku bisa bekerja di beberapa tempat: di Rumah Sakit, puskesmas, atau membuka praktek di rumah sendiri. Di Rumah Sakit dan puskesmas, tekanan pekerjaanku cukup tinggi. Pasien yang banyak, rekan sejawat yang tidak bisa bekerja sama dengan baik, laporan harian dan bulanan yang harus diselesaikan, sampai kematian ibu atau bayi.
Ketika kau menyambutku pulang ke rumah dengan lesu, cukup berikan aku sebuah pelukan, lalu dengarkan cerita-cerita yang ingin aku sampaikan. Mungkin saja saat itu aku sedang dimarahi atasan, dimarahi pasien, atau mungkin baru saja melihat seorang ibu yang kehilangan anaknya, atau melihat seorang ibu yang meninggal setelah persalinan, lebih buruk lagi; melihat seorang ibu yang menangis karena kehilangan bayi dalam kandungannya, sedang ia telah menunggu bayi itu hadir setelah delapan tahun.
Jika aku membuka praktek bidan di rumah, aku bisa berinteraksi dengan pasien-pasienku lebih leluasa. Menolong persalinan di rumah, melakukan konseling pribadi. Sebagian waktuku akan habis aku gunakan untuk menangani klienku. Belum lagi jika ada pasien yang datang di malam hari. Ketika kau baru pulang kerja larut malam, belum tentu aku bisa menyambutmu dengan membuatkan air panas untukmu mandi atau secangkir kopi. Disaat yang sama, di ujung pintu rumah kita, bisa jadi ada seorang ibu yang kesakitan karena hendak melahirkan, atau seorang ibu dengan wajah iba mengetuk pintu rumah kita, karena anaknya menderita demam.
Jika kau mendengar suara pintu diketuk ditengah malam, dan kau melihatku tertidur, bangunkan aku dengan lembut dari tidurku. Itu akan sangat membantuku.
Jika pasien yang aku tangani memerlukan pertolongan lanjutan, tolong bantu aku mengantar pasienku ke rumah sakit. Kau mungkin tak paham mengapa pasien ini harus dibawa ke rumah sakit. Jika kau terbiasa, maka kau akan paham. Belum lagi jika agenda mingguan kita untuk pergi bersama batal karena ada yang hendak bersalin. Tolong, jangan kecewa. Bantu aku memberikan pengertian pada anak kita kelak.
Aku memang sibuk dengan pasien-pasienku di rumah, namun tak perlu khawatir. Tak perlu kau takut kelaparan hanya karena aku sibuk dengan pasienku. Aku sudah memasak untuk kau, dan pasienku yang hendak bermalam untuk melahirkan. Disela-sela pasien yang datang, aku juga menemani anak kita belajar dan mengerjakan PR.
Jika kau menikahi seorang bidan, jangan pernah berasumsi kau menikahi seorang yang kaya raya. Penghasilan kami tak seberapa. Jika lebih dari cukup, percayalah, itu hadiah dari Tuhan.
Jangan tuntut aku untuk melepas pengabdian dengan alasan menomerduakan keluarga. Bagiku, keluarga selalu nomer satu, walau aku tak selalu bisa menemani, bahkan hanya mendoakan dalam hati. tapi pengabdian takkan pernah benar-benar berhenti.
Sebagai Perempuan, aku memang terlahir dengan naluri mandiri dan multitasking. Namun, keberadaanmu disisi akan lebih menenangkan.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
submitted :
Luthfi Rizky Fitriana
http://kurniawangunadi.tumblr.com/post/66815470513/ceritajika-14-jika-istrimu-seorang-bidan

karna mereka juga punya hak atas diri kita

kalo dulu waktu semester2 awal sering pulang...
itu mah namanya cemen..
karna emang wajar,semester awal itu masih kangen2 nya rumah, kangen2 nya musuh tapi mesra (adek),kangen2 nya temen2..
tapi kalo udah semester2 akhir (5,6,7) sering pulang, itu namanya hebat..
soalnya kita udah adaptasi sama lingkungan,udah betah sama lingkungan,lingkungan udah jadi keluarga baru,,
jadi ga pulang pun ga masalah karna lingkungan yang udah kondusif membuat kita nyaman..
tapi,jangan lupakan:
dulu mba asrama saya, mba ella pernah bilang (intinya):"karna,orang lain juga punya hak atas diri kita. orang tua punya hak atas diri kita,ade2 punya hak atas diri kita, saudara2 punya hak atas diri kita, bahkan temen2 rumah pun punya hak atas diri kita. jadi, sering2 pulanglah.."
bukan berarti kita cengeng,tapi kewajiban kita memenuhi hak mereka.

ga
usah yang muluk2,cukup bantuin emak nyuci piring/masak di dapur, bantuin
ade ngerjain pr/ngejajanin/ngajak jalan-jalan ke toko buku, main bareng
sama temen lama, mijetin nenek, buatin bapak teh, atau hal sepele
lainnya yang bisa membahagiakan orang rumah.

jangan mentang2 ngerasa mahasiswa,jadi ga mau cape2 di rumah,justru
karna udah jadi mahasiswa,kita harus menjadi orang yang lebih berbakti
dan rendah hati:-)

#renungan buat diri sendiri yang hampir 4 bulan engga pulang.
padahal biasanya pulang 2bulan sekali,paling mentok 3bulan.

buat yang kampusnya kurang dr 6 jam perjalanan darat dari rumah,saran
sih pulang sebulan sekali hehe (boleh diterima boleh engga)

yang jauh rumahnya dari tempat menuntut ilmu,sering2 minta do'a dan
tanyain kabar